Minggu, 04 Juli 2010

Sukarelawan Empat Dekade

Penemuan Situs Buni sempat mencengangkan dunia arkeologi pada 1960-1970-an. Ketika itu, para arkeolog dan ribuan penduduk Bekasi dan sekitarnya berlomba menemukan "harta karun"-emas, tepatnya-di lokasi tersebut. Ada sejumlah penduduk yang menyerahkan hasil penggalian mereka ke Museum Nasional secara sukarela. Beberapa arkeolog kemudian turun tangan, bahu-membahu dengan penduduk setempat, untuk menyelamatkan Situs Buni. Di antaranya R.P. Soejono, I Made Sutayasa, Teguh Asmar, dan Hasan Djafar. Dana penelitian yang seret membuat para arkeolog ini nyaris tak bisa bergerak selama bertahun-tahun. Namun, saat Pertamina menemukan minyak di Babelan, aktivitas penyelamatan Situs Buni kembali digiatkan. Berikut ini beberapa nama yang telah banyak menyumbangkan tenaga demi kelangsungan Situs Buni hingga sekarang.

Dullah

Ingat Situs Buni, ingat Pak Dullah. Meski Dullah sudah meninggal dunia pada 1980-an di usia 60-an tahun, arkeolog senior ataupun petugas Museum Nasional selalu menyebut nama warga Sukatani, Bekasi, itu tatkala berbicara tentang hasil temuan dari Situs Buni, yang jumlahnya mencapai ratusan buah. "Tanpa Pak Dullah, koleksi Situs Buni tak seberapa," kata Kepala Museum Nasional, Endang Sri Hardiati.

Sejatinya, Dullah adalah pedagang serabutan. Tatkala pada 1960 Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) menyerukan agar masyarakat melapor bila menemukan benda purbakala, intuisi bisnis Dullah muncul. Dullah keluar-masuk kampung untuk membeli aneka hasil temuan, seperti perhiasan emas, manik-manik, gerabah, dan beliung persegi. Setelah membeli dan menghimpunnya, Dullah langsung membawanya ke Museum Nasional atau Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (sebelumnya LPPN). Kalau Museum Nasional tak punya uang, dia bersedia dibayar pada pengiriman "barang" berikutnya. "Pak Dullah lebih sebagai penyelamat Situs Buni ketimbang bisnisnya," kata Endang.

Romli Abdullah

Belasan kapak persegi masa neolitikum dikeluarkan dari laci lemari lusuh. "Dikoleksi, mana tahu berguna," kata pemiliknya, Romli Abdullah, 69 tahun. Benda-benda yang dibuat dan digunakan masyarakat Buni masa prasejarah tersebut biasanya diperoleh Romli secara kebetulan ketika ia mencangkul pekarangannya untuk menanam kangkung dan bayam. "Kemarin, saya mendapat beliung persegi saat mencangkul," ujarnya kepada TEMPO.

Kesadarannya untuk menyelamatkan benda-benda prasejarah dilakukan sejak ditemukannya Situs Buni pada 1958. Ketika itu, Romli menjabat juru tulis desa, sedangkan kepala desanya ayahnya sendiri, Abdullah. Selain berbekal ilmu dari guru sejarahnya tatkala ia duduk di bangku sekolah rakyat, kepeduliannya terhadap benda-benda Situs Buni tumbuh berkat perkenalannya dengan arkeolog R.P. Soejono dan Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusuma, yang berkunjung ke Buni pada 1960.

Meski Soejono sudah tak meneliti Buni, Romli tetap membantu arkeolog, sejarawan, wartawan, dan anak sekolah yang ingin mengetahui sejarah Buni. Ketika Pemerintah Kabupaten Bekasi menyusun buku sejarah Bekasi pada 1970-an, Romli membantu tim penelitian yang dipimpin M. Husein Kamaliy dan Eni Suhaeni. Kini, saat dirinya sudah pensiun dan hidup sebagai petani, selain menyelamatkan situs, dia dengan sabar menerangkan kepada anak-anak Buni tentang fungsi kapak persegi bagi kehidupan. "Mereka harus bangga, nenek moyangnya adalah pekerja tangguh sejak zaman purba," ujarnya.

Nurhasan Ashari

Kegeraman terpancar dari wajah Nurhasan Ashari, 33 tahun. Anak muda Babelan yang kini menjabat Ketua Presidium Pusat Peran-Serta Masyarakat (PPM) Kabupaten Bekasi itu terpaksa mempersiapkan surat yang ditujukan untuk Pertamina. "Mereka harus melibatkan arkeolog," ujar Nurhasan. Alasannya, lokasi pengeboran minyak persis berada di wilayah kompleks situs kebudayaan Buni.

Perhatian dan pengetahuan sejarah yang diperoleh sampai tingkat SMU membuat Nurhasan berupaya menyelamatkan situs di Babelan tersebut. Selain menghimpun benda yang diduga berasal dari masa prasejarah dan sejarah, Nurhasan, si sukarelawan penyelamat situs, pun berjuang di jalur formal. Bekerja sama dengan pemerintah setempat, lembaga swadaya masyarakat yang dipimpinnya telah melakukan penelitian pada 2003. Hasilnya, antara lain, buku Benda Cagar Budaya Kabupaten Bekasi. Tidak sampai di situ, dia dan kawan-kawannya tengah berjuang agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bekasi membuat peraturan daerah tentang perawatan, perlindungan, dan pelestarian benda cagar budaya. "Selamatkan Situs Buni sebelum terlambat," ujarnya.

R.P. Soejono

Kelopak mata Prof. Dr. R.P. Soejono berkaca-kaca ketika mendengar kabar tanah Babelan memuncratkan minyak. Ia terharu karena di satu sisi eksploitasi menghasilkan devisa amat besar untuk negara. Tapi, di sisi lain, tambang minyak itu bakal merusak Situs Buni, yang belum tuntas diteliti. "Saya kecewa kalau proyek minyak merusak Situs Buni," kata Soejono sambil memperlihatkan puluhan kapak persegi masa neolitikum dari daerah Buni. Arkeolog senior di Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan itu layak gusar. Sebab, dialah arkeolog pertama yang datang ke Buni pada 1960, ketika ribuan orang berpesta-pora mengaduk-aduk tanah Babelan untuk memperoleh berbagai perhiasan emas di sekitar tulang-belulang manusia, aneka gerabah, dan beliung persegi.

Sadar temuan tersebut berasal dari masa prasejarah dan awal sejarah, Soejono, yang ketika itu masih berstatus mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia, bersama Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional serta Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusuma sempat meminta masyarakat menghentikan penggalian. "Tapi, di belakang kami, mereka tetap menggali." Dengan perasaan sedih, Soejono terus melakukan penelitian. Sayangnya, belum rampung mengungkap rahasia Buni, dia ditugasi ke Bali pada 1961. Arkeolog senior ini sempat memperkenalkan Situs Buni kepada dunia internasional untuk pertama kalinya melalui tulisannya berjudul Indonesia dalam buletin Asian Perspectives pada 1963.

Soejono dibantu oleh dua muridnya yang juga setia kepada situs Buni selama bertahun-tahun, yakni I Made Sutayasa dan Teguh Asmar. Penelitian Situs Buni menjadi tak terurus sejak 1970-an setelah Sutayasa ke Bali dan Teguh meninggal dunia. Kini, pada usianya yang beranjak 78 tahun, Soejono menggeliat kembali. Dalam waktu dekat, dia ingin menyambangi Buni. "Mencari kaitan Situs Buni, minyak, dan peradaban manusia," kata Soejono.

Hasan Djafar

Situs Buni membuat arkeolog Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Hasan Djafar, 63 tahun, tergelitik untuk memfokuskan diri pada penelitian arkeologi sekitar Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Pada masa mahasiswa, Hasan terjun ke Babelan untuk menyaksikan kemegahan situs Buni. Dari situ, dia mencoba melakukan pengembangan penelitian. Bersama-sama arkeolog Ayatrohaedi dan sejumlah mahasiswanya, dia menjalin kerja sama dengan Dinas Permuseuman DKI Jakarta sejak 1970-an.

Dari hasil penelitiannya, ternyata temuan benda prasejarah sejenis Situs Buni tersebar amat luas sampai ke Banten, Jakarta, dan Karawang. Bahkan Jabotabek didominasi temuan prasejarah masa neolitikum. "Kebudayaan Buni seakan memancar ke daerah yang amat luas," ujarnya. Keasyikannya melakukan pengembaraan membuat dirinya tertambat di Batujaya, Karawang, sejak 1984. Rupanya, di persawahan sebelah timur Sungai Citarum terdapat gundukan tanah (unur) yang kemudian terbukti sebagai candi Kerajaan Tarumanegara pada abad V-VI. Inilah salah satu kompleks percandian tertua di Pulau Jawa.

Kini Hasan dipercaya meneliti Batujaya atas sokongan donatur bergengsi dari sejumlah
negara maju. Bahkan, untuk memperoleh gelar doktornya pun, dia membahas Batujaya. Dari hasil penelitiannya, Batujaya diyakini sebagai pusat religi Tarumanegara, sedangkan Bekasi diindikasikan sebagai pusat politik dan pemerintahan. Maka, seusai membedah Batujaya, dia bertekad akan membedah Bekasi dan Jakarta sampai terkuaknya misteri Situs Buni dan lokasi Kerajaan Tarumanegara. Mengutip Hasan: "Saya akan kembali ke (Situs) Buni dan Tarumanegara di Bekasi."


Sumber :
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/04/19/SEL/mbm.20040419.SEL90694.id.html
19 April 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar